Haruskah Menyerahkan Kursi Kereta yang Kita Pesan?



Menjelajahi beranda Tiktok memang tidak ada habisnya. Ada saja cerita dari video-video tersebut yang menarik perhatian. Bahkan, sampai membuat saya berkomentar. Memang, sejak tiga tahun terakhir saya benar-benar menahan diri untuk tidak berkomentar di media sosial mengenai apa pun, terutama hal yang akan menimbulkan debat kusir. Namun, kemarin saya melepaskan cerita di salah satu video dan mendapatkan beberapa balasan komentar dari pengguna aplikasi Tiktok.

Ceritanya dalam video tersebut seseorang men-stitch sebuah video yang menunjukkan seorang ibu meminta belas kasihan kursi untuk anaknya. Intinya adalah mengenai kursi kereta yang mungkin kamu pernah mengalaminya ketika ada orang asing tiba-tiba minta kursi kita atau menduduki kursi yang kita pesan. Saya berkomentar dalam video tersebut bahwa saya mengalami kejadian tersebut tiga kali.

Berhubung saya tidak tahu harus menceritakan apa di blog ini, maka saya akan bercerita mengenai pengalaman saya naik kereta api dan pengalaman saya ketika ada penumpang lain yang menduduki kursi saya.

Pengalaman Naik Kereta Api Kelas Ekonomi


Pengalaman saya alami ini semuanya di kereta api kelas ekonomi. 

1 | Perjalanan Malam ke Semarang


Kejadian ini saya alami sekitar tahun 2016. Saat itu, saya jalan-jalan ke Semarang bersama teman blogger yang baru saya kenal. Maka, kami sama-sama baru bertemu di Semarang. 

Seperti biasa, saya selalu memesan tiket kereta api via online dan memilih kursi di dekat jendela. Selain alasan melankolis, duduk di tepi jendela pun tidak akan membuat saya bosan karena bisa melihat keluar kereta dengan jelas. Lalu, alasan lain adalah saya bisa bersandar ke dinding kereta kalau-kalau saya mengantuk. Apalagi, saat itu perjalanan malam dan saya pergi seorang diri.

Setelah duduk di kursi saya, beberapa saat kemudian ada rombongan keluarga yang duduk di sekitar saya. Saat itu, saya mendapatkan kursi baris tiga dan saya berada di pojok. Tak lama kemudian, seorang bapak-bapak meminta saya tukar kursi. Dia berkata karena satu keluarga. Tentu, saya menolak. Untungnya, si bapak tidak ngeyel dan hanya menggaruk kepala.

Semestinya, kalau memang ingin satu keluarga dalam satu kursi mereka memesan online saja. Ya, saya tahu tidak semua tahu cara menggunakan aplikasi atau membeli online. Jadi, kalau tidak tahu hal tersebut, ya, terima saja kursi yang didapatkan.

2 | Perjalanan ke Jogjakarta


Kejadian kedua terjadi di tahun 2019 ketika saya pergi ke Jogja bersama adik. Saya membeli tiket kereta sebelahan dengan adik saya. Tentu saja, saya memilih dekat jendela. Ketika masuk ke kereta di stasiun Mojokerto, kursi saya sudah ada yang menduduki. Saya meminta ibu-ibu tersebut untuk pindah. Awalnya, dia tidak mau dan menunjuk kursi kosong di sebelahnya. Saya tetap pada pendirian meminta kursi yang saya pesan. Ibu tersebut akhirnya mau pindah, tapi sambil mengomel.

“Padahal juga sama saja,” begitu katanya.

Sudah jelas, kan, itu tidak sama saja. Duduk di sebelah jendela ada sandaran lebih, sedangkan duduk di ujung lain tidak ada.

3 | Perjalanan Pulang ke Mojokerto


Entah kenapa kejadian berangkat ke Jogja terulang kembali ketika pulang ke Mojokerto. Apabila dua cerita di atas saya berhasil memenangkan hak saya, kejadian ketiga ini justru saya gagal mendapatkannya. Saya kalah dan ibu tersebut lebih garang daripada ibu-ibu sebelumnya.

Hampir sama seperti cerita di nomor dua, ketika masuk kereta kursi saya sudah diduduki seorang ibu-ibu dengan anaknya yang tiduran di pangkuannya. Jadi, sepertinya ibu tersebut membeli dua kursi. Namun, satu kursinya itu yang diduduki anaknya adalah kursi saya.

Saya memesan dua kursi sisi jendela berhadapan dengan adik saya. Maka, saya bilang kepada ibu tersebut bahwa itu adalah kursi saya. 

“Lho, ini kursi saya,” balas ibu itu. “Sudah bener di sini,” tambahnya.

“Lihat tiketnya sajalah, Bu,” jawab saya. Dia kemudian melihat ke belakang, sepertinya ke suaminya, meminta tiket. Setelah dilihat, bukannya minta maaf dan pindah dia justru berkata hal lainnya.

“Anak saya sudah suka di sini,” tambahnya. Tentu saja menahan amarah. 

Saya tidak ingin berlama-lama berdebat dengan ibu itu dan lagi waktu itu saya tidak tahu bahwa bisa meminta kondektur untuk membantu mengatur kursi sesuai dengan di tiket, maka saya tetap duduk di tepi jendela dan saya mengorbankan adik saya duduk di kursi milik ibu itu.

Dari pengalaman tersebut, akhirnya saya menggunakan adegan itu dalam novel-novel saya. Saya memasukkannya ke novel Madeira, apabila kamu membaca novel itu pasti tahu adegan yang mana.

Dalam video yang saya komentari, saya mendapatkan balasan beragam, beberapa ada komentar seperti di bawah ini.




Saya tidak mengerti kenapa saya memiliki kewajiban mengingatkan atau mengajari ibu itu mengenai pendidikan anak agar anaknya tidak culas atau semacamnya. Saya pikir, saya tidak sebaik itu dan tidak mau repot-repot semacam itu. 

Saya sangat menyukai perjalanan kereta dan duduk di tepi jendela. Saya tidak punya tenaga untuk bertengkar dengan orang lain. Bagi saya, pendidikan anak adalah tanggung jawab orang tuanya, bukan orang lain. Apalagi, saya orang asing dalam hidup ibu tersebut dan saya juga tidak mau mengenal lebih jauh orang tersebut.

Dari cerita-cerita di atas, sudah jelas apa jawaban saya mengenai judul artikel ini. Apakah harus menyerahkan kursi kereta yang kita beli untuk orang lain? Jawabannya, tidak. Kecuali, memang ada hal mendesak yang mengharuskan saya pindah kursi.

Nah, apakah kalian pernah merasakan pengalaman serupa?

pic taken from pexels.com

No comments:

Post a Comment