City Tour : Mengintip Wajah Lain Surabaya di Kampung Lawas Maspati



Mengintip Wajah Lain Surabaya di Kampung Lawas Maspati - Saya mengenal Kota Surabaya itu sebagai surganya mal-mal yang menjulang ke langit-langit. Kota terbesar kedua setelah Jakarta, kota yang penuh dengan adek-adek pemakai kathok gemes. Tapi, siapa sangka, Surabaya punya wajah lain yang belum pernah saya jumpai.

Kampung Lawas Maspati, di sini saya menemukan wajah lain Surabaya, di tengah-tengah gedung-gedung megah itu.

Usai dari rumah-rumah bersejarah tersebut, (baca: Waroeng Omah Sejarah Soeroboyo ) kami melanjutkan perjalanan ke Kampung Lawas Maspati. Ah, saya baru tahu mengenai kampung lawas ini. Padahal, saya seringkali pergi ke pasar buku bekas di dekat situ.

Sampainya kami di sana, kami disambut oleh orang-orang yang berpakaian adat. Kepala di tutupi dengan blankon dan bagian pinggul dililit jarik. Sambutan tak hanya sampai situ. Kami langsung disuguhi oleh pengamen jalanan yang berkostum hitam. Pengamen jalanan ini memainkan alat berupa kentongan dari bambu dan beberapa alat lainnya. Mereka pun masih sangat muda bahkan ada yang anak-anak.


Pernah tahu pengamen jalanan Klantink? Yup, semacam itulah. Dan, saya sangat suka sekali. Saya terpukau dan sangat menikmatinya. Saat itu, saya merasa seperti seorang turis. Seakan-akan saya berada di dunia lain, di luar Kota Surabaya.

Sabtu, 21 Mei 2016, kemarin saya melihat sisi lain dari kota tempat saya mendulang  ilmu tersebut.
Lalu, kami dibagi menjadi dua kelompok. Yang nantinya akan dipandu dengan satu pemandu di Kampung Lawas Maspati. Perjalanan pun dimulai. Kami menelusuri gang dengan banyak penjual di rumah-rumah kampung tersebut.

Setelah saya melihat pengamen dengan lantunan lagu yang sungguh saya nikmati, kini kami bertemu dengan tempat mendaur ulang sampah menjadi gaun. Sangat menarik. Bahkan ada ibu-ibu menari mengenakan gaun daur ulang tersebut. Gaun tersebut terbuat dari kemasan deterjen atau beberapa sampah yang  tak bisa memuai.


Tidak jauh dari rumah daur ulang, kami menemukan sebuah mainan kecil lucu yang terbuat dari korek api gas. Ada robot, pesawat, tempat pensil, dll. Yang membuat itu semua adalah seorang bapak yang cukup tua. Saya sempat bertanya, apakah ada pengepul yang memasok bahan baku pembuatan mainan tersebut. Ternyata tidak. Belum ada. Bahkan, si Bapak membeli korek api gas yang baru untuk membuatnya.  Yuk, yang punya korek api gas dikumpulkan dan nantinya dikirim ke bapaknya.
Kampung Lawas Maspati juga memiliki pembibitan lidah buaya. Sehingga, di tepi jalan beberapa ibu-ibu menjual cemilan lidah buaya dan es lidah buaya. Bahkan, kami juga menemukan manisan berbahan dasar tomat. Rasanya manis sekali.




Perjalanan berlanjut dan kami tiba di sebuah rumah, yang dulunya merupakan tempat sekolah, yang disebut Sekolah Ongko Loro. Yang dimaksud dengan Sekolah Ongko Loro atau dalam Bahasa Indonesia Sekolah Angka Dua, adalah sekolah rakyat atau sekolah dasar yang tersebar di seluruh pelosok desa dengan masa pendidikan selama tiga tahun. Adapun tujuan adanya sekolah ini adalah untuk memberantas buta huruf dan ketidaktahuan dalam berhitung. Sayangnya, kami tidak bisa masuk ke dalam rumah tersebut karena sudah menjadi miliki pribadi.

Lalu, kami diajak ke sebuah rumah yang dulunya dijadikan markas tentara. Yang kebetulan, rumah tersebut adalah milik si pemandu yang notabener merupakan cucu (kalau tidak salah) dari pemilik rumah yang terdahulu. Rumah ini dibangun pada tahun 1907 . Pada jaman kolonial Belanda rumah tersebut difungsikan sebagai tempat pertemuan pemuda dan pemudi Surabaya khususnya pemuda pemudi Kampung Maspati untuk membahas strategi peperangan dalam 10 November dimana terjadi pertempuran sengit di Surabaya kala itu. Menurut cerita sang pemandu pun, rumah tersebut menjadi korban, tapi untungnya hanya tembakan.

Pada saat itu, kebetulan ada pameran seni dari anak-anak mahasiswa sehingga sepanjang jalan kami disuguhi pameran seni. Tentunya, ini sangat menarik bagi saya. Beberapa ada yang mengadakan live music atau seni lukis dan grafiti.



Sebagai informasi, teman-teman juga bisa mengadakan tour ke Kampung Lawas Maspati dengan berkelompok. Satu kelompok berisi dua puluh orang dikenakan biaya, Rp. 2.000.000,- itu berarti perorang cukup membayar Rp. 100.000,- saja. Tour di Kampung Lawas Maspati, nantinya biaya tersebut akan masuk kas. Kas tersebut, tentunya digunakan untuk menjaga kelestarian kampung tersebut.

Nah, perjalanan di Kampung Lawas Maspati usai. Siang itu begitu terik, sehingga kepala saya sakit luar biasa. Sekitar pukul dua siang, kami melanjutkan perjalanan ke Museum Kanker Indonesia. Museum ini, adalah satu-satunya museum kanker yang ada di dunia loh.


 xoxo,
Wulan K.

6 comments:

  1. Waah asyik ya... mudah2an bisa ke sana :)

    ReplyDelete
  2. Gilak! Surabaya selalu memukau! Bangga saya jadi arek Suroboyo ❤❤❤

    ReplyDelete
  3. Seperti halnya Bandung,Surabaya adalah kota dengan kreativitas yang tidak pernah mati.

    ReplyDelete
  4. seneng ya ikut melestarikan sejarah nih, bukan hanya itu kesenian dan kreatifitas juga ditampilkan,

    ReplyDelete
  5. sangat seru itu jalan-jalannya, keren banget, thanks ulasannya

    ReplyDelete